flowers



Minggu, 22 Juli 2018

Titik Bifurkasi

Lagi lagi hidupku dihadapkan pada sebuah pilihan. Aku benci ketika dipaksa untuk memilih hal yang sulit. Ketika kamu sebegitunya mencintai sesorang tetapi kamu berpikir bahwa untuk mencintainya adalah suatu hal yang bodoh. Seandainya aku bisa memilih kepada siapa aku hendak menjatuhkan hatiku. Semua mengalir begitu saja. Warna- warni dunia pernah kita lalui bersama. Menyesal? Iya. Kadang aku menyesali beberapa hal dalam hidupku. Dan aku bingung apakah aku juga menyesal sudah jatuh hati pada seseorang sepertimu? Bahkan hatiku sendiri tidak mampu menjawab. Semua penuh keraguan. Aku bahagia denganmu, tadi tidak selalu. Dan kamu mematahkan hatiku, tapi tidak selalu juga. Jadi bagaimana? Kalau harus memilih pergi, aku teringat semua tawa canda yang kita lalui. Dan jika aku memilih bertahan, aku teringat dengan semua luka yang pernah kamu goreskan. Bahkan aku bingung harus meminta apa kepada Tuhan. Hingga akhirnya aku membiarkan Tuhan yang menentukan, "Tuhan, ajari aku ikhlas. Ikhlas melepaskan dirinya, atau ikhlas dengan semua luka yang pernah ia goreskan." Aku bingung, Tuhan tidak segera memberi pertanda. Apakah Tuhan juga sedang bingung?

Sungguh yang aku inginkan hanyalah hidup bahagia dengannya dan melupakan semua luka hati yang ada. Dan kita mulai lagi semua dengan sebaik mungkin. Tapi kenapa kurasa tidak mungkin? Mana mungkin bisa bahagia selalu? Dan dengan kamu yang mudah putus asa, aku jadi semakin bingung. Sampai kapan ya akan terus begini? Berharap tanpa ada kepastian akan kembali atau tidak. Aku tidak sabar dengan keputusan terbaik. Aku benci dengan keadaan ini. Mimpiku masih panjang, seandainya kita hidup berdua. Kadang aku teringat dengan mimpi- mimpi kita, aku masih berharap kamu menjadikanku pemeran utama bersamamu. Melibatkan aku di setiap mimpimu, seandainya. Selamat berlibur di tempat yang jauh, lekas pulang dengan hati yang tetap untukku. Semoga selalu dalam lindungan-Nya dan aku selalu berdoa agar kamu selalu ingat aku di setiap langkahmu. Baik- baik kamu, baik- baik aku. Dan baik- baik kita. Lekas sembuh seperti sedia kala :)

Rabu, 21 Februari 2018

Lembar Kedua

Hidup memaksaku menjadi dewasa dengan tiba- tiba. Sudah memasuki tahun ketiga tapi semua masih sangat terasa. Hidupku banyak berubah, dan aku harus tetap mengalir mengikuti arus. Aku bukan tipe manusia yang mudah beradaptasi. Perasaan ingin menyerah selalu saja tiba- tiba hadir. Lalu apa yang harus aku lakukan ketika menyerah? Tidak ada. Bahkan untuk menyerah aku tidak bisa. Hadapi. Itulah satu- satunya jalan. Tidak ada pilihan lain. Padahal katanya hidup itu pilihan. Tapi nyatanya aku tidak punya pilihan. 2018. Aku sudah melewati dua tahun ya, dan berjalan menuju tiga. Dan "katanya" tahun terakhir. Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Memang aku selalu menanti- nanti waktu berakhirnya tiba. Tapi aku tidak yakin semua akan benar- benar berakhir. Aku sudah berkepala dua, dan tidak terlewat hariku melupakan hal itu. Masih sangat membekas. Masih sangat menyakitkan. Dan aku masih sering menangis diam- diam. Kapanpun. Dimanapun. Terkadang aku takut menjadikan orang yang ku sayang merasa terbebani karenaku. Kalaupun tidak terlihat bahagia, setidaknya aku terlihat baik- baik saja di depan mereka. Kadang aku bingung harus kemana lagi berbagi. Kenapa Tuhan tidak dapat diajak bertukar pikiran? Agar aku tahu tindakan yang tepat untuk menjalaninya. Aku hanya bisa terus bercerita, terus meminta, tanpa aku tahu akan sampai kapan berakhir. Aku rindu seperti dulu. Ketika keadaan terburuk adalah patah hati karena cinta. Tapi sekarang masalah demi masalah semakin besar. Satu belum tuntas, muncul yang baru. Apakah ini berarti hidup adalah masalah? Aku ingin segera keluar dari keadaan ini. Sampai kapan harus terus berjalan sendirian? Iya, sendirian. Karena tidak ada seorangpun yang benar- benar mengerti. Dan sejak saat itu aku menjadi penyendiri. Malas bersosialisasi. Dan entah aku yang menjauh dari orang- orang, atau mereka yang menjauhiku, atau malah kesibukan yang menjauhkan kita? Aku tidak bisa menikmati masa kuliahku. Wajar saja, hidupku berantakan sesaat sebelum masuk kuliah. Kemudian mencoba memulai kehidupan baru dengan orang- orang baru. Dulu aku sempat ingin lari dari kenyataan. Tidak ingin pulang ke rumah. Karena rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman "saat itu" menjadi tempat yang menyakitkan. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Aku tidak ingin pulang dan memilih tinggal di kota yang menjadi tempat tinggal baruku, dengan orang- orang baru dan yang ku inginkan benar- benar untuk bersenang- senang. Tapi akhirnya aku sadar. Masalah ada bukan untuk dihindari, tapi dihadapi. Semua terjadi karena sebuah alasan. Sekarang yang ku inginkan adalah cepat- cepat lulus dari bangku perkuliahan. Aku terlanjur tidak bisa menikmati. Dan semua sudah terlambat untuk dinikmati. Mungkin. Aku biarlah tetap menjadi aku yang sesekali berharap menjadi orang lain. Salahkah? Dosakah? Biar saja. Yang penting aku tetap berjalan, tidak berhenti. Atau seharusnya aku menggunakan kata merangkak untuk menggantikan kata berjalan? Ya mungkin itu lebih tepat.